Sejarah dan Perkembangan Vanili di Indonesia




Vanili sudah hampir tersebar di seluruh dunia, baik di negara tropis maupun sub-tropis, Indonesia salah satunya. Dalam perkembangannya, vanili mewujud menjadi komoditas yang eksotik. Selain karena harganya yang selangit, vanili juga memiliki banyak kegunaan sebagai bahan baku ataupun tambahan penyedap, perasa, pengharum untuk makanan, minuman, parfum, kosmetik dan farmasi. 

Saking banyaknya kegunaan vanili, saat ini polong buahnya sudah dimanfaatkan pada industri makanan (60%), kosmetik (33%), dan sebagai bahan aromaterapi (7%). Namun, dibalik masifnya penggunaan bahan vanili untuk kebutuhan masyarakat global. Siapa sangka, ternyata vanili menyimpan sejarah yang panjang sebelum mencapai semua itu.


Asal Muasal


Singkatnya, tanaman vanili merupakan tanaman asli Meksiko. Vanili tumbuh subur di hutan Meksiko dengan naungan pohon-pohon rindang di atasnya. Cerita dimulai dengan orang-orang Totonaco yang mendiami wilayah Veracruz. Mereka dianggap menjadi suku pertama yang mulai membudidayakan vanili pada abad ke-15. Mereka memanfaatkan vanili sebagai bumbu dengan mengeringkan buahnya terlebih dahulu. Setelah itu, pada tahun 1427 datang suku Aztec yang kemudian menaklukan Totonaco dan menguasai wilayah Veracruz .


Pada akhirnya, bangsa Aztec mulai memanfaatkan vanili untuk menghasilkan aroma dan rasa khas tertentu. Mereka menggunakan vanili untuk membuat cacahuatl‒minuman dari air, madu, tepung jagung dan biji kakao. Bangsa Aztec menamakan biji vanili dalam bahasa Nahuatl dengan sebutan “tlilxochitl” yang artinya “Black Flower”3. Di tahun 1703, seorang ahli botani Prancis bernama Charles Plumier menamakannya dengan kata “vanilla”‒dalam bahasa Indonesia disebut “vanili”‒seperti yang umum dikenali sampai sekarang.


Hernán Cortés dan Penyebaran Vanili di Eropa


Tahun 1519, penjelajah sekaligus penakluk Meksiko asal Spanyol bernama Hernán Cortés memulai perkenalannya dengan tanaman vanili. Cortés menyebut vanili sebagai “Small Pod” atau polong kecil4. Saat itu Cortés sedang di Tenochtitlan‒ibu kota kerajaan Aztec. Adalah Montezuma‒kaisar Aztec, yang konon menyuguhkan cacahuatl kepadanya, pada tahun 1520. Setelah itu, Cortés mulai mengirim vanili ke berbagai negara Eropa.


Beberapa tahun berikutnya, vanili perlahan mulai populer. Cokelat panas rasa vanili ramai di istana-istana Eropa, kemudian saran Hugh Morgan‒apoteker Ratu Elizabeth I‒untuk menggunakan vanili sebagai penambah rasa dan aroma. Lalu, pada tahun 1700-an, vanili mulai digunakan dalam minuman beralkohol, tembakau dan parfum. Saat itu, semua buah vanili yang digunakan seluruhnya diimpor dari Meksiko, karena tidak ada yang tahu bagaimana cara menanam vanili di luar wilayah asalnya. 


Kutukan Montezuma


Sebelum masa penjajahan Hernán Cortés atau bahkan saat kejayaan imperium Aztec, masyarakat Indian Totonaco dari Veracruz sudah menanam, memanen, dan mengolah buah vanili. Baru setelahnya pada awal 1800-an, saat Hernán Cortés menyebarluaskan vanili untuk dibudidayakan di negara-negara Eropa5. Penanaman mulai digencarkan di sejumlah wilayah dengan iklim yang sekiranya cocok dan menyerupai daerah asal. Tanaman vanili tumbuh dengan baik dan mengeluarkan bunga, hanya saja tidak menghasilkan buah. Ketika itu diduga karena terkena “Kutukan Montezuma”3.


Vanili yang sudah ditanam menjadi sia-sia. Sampai pada tahun 1836, Charles Morren‒pakar tanaman asal Belgia di Universitas Liège‒, mengetahui dalam penelitiannya bahwa bunga vanili hanya bisa berbuah jika diserbuki oleh lebah kecil Melipone. Sementara serangga ini hanya ada di daerah asal. Hal itu yang menjadi kendala penanaman vanili di luar wilayah Meksiko3.


Edmund Albius, Bocah Penemu Penyerbukan Buatan


Selama berabad-abad belum ada yang mampu membuahkan vanili tanpa penyerbukan serangga Melipone. Setelah menemukan penelitian penyerbukan bunga vanili, Charles Morren mengembangkan metode hand-pollination atau penyerbukan buatan, yaitu cara penyerbukan bunga dengan bantuan manusia. Hal ini kemudian dikembangkan secara luas di wilayah tropis koloni dari Prancis di East dan West Indies, Samudra India dan French Oceania. Inggris lalu mebawa tanaman ini ke India3. Metode Morren ini dilanjutkan oleh Neuman pada tahun 1838. Lalu di tahun 1841, disempurnakan oleh Edmund Albius dengan metode penyilangan bunga menggunakan tangan2. 


Saat itu Edmund Albius masihlah seorang budak berusia 12 tahun yang bekerja pada Fereol Bellier Beaumont di pulau Reunion dekat Madagaskar. Fereol menyukai tanaman dan punya banyak koleksi, termasuk vanili. Selaras dengan bos-nya, Edmund punya rasa ingin tahu yang tinggi terhadap tanaman. Di kebun Fereol, terdapat tanaman vanili yang sudah berumur tahunan namun belum berbuah.


Edmund Albius lalu mencoba menyilangkan bunganya dengan menggunakan sebatang bambu seukuran tusuk gigi. Selang beberapa bulan muncul polong dari bunga tadi. Awalnya Fereol tidak mempercayai cara yang dilakukan Edmund. Namun, lambat laun setelah melihat banyak buah yang dihasilkan, Fereol pun mulai mempercayainya. Setelah keberhasilan itu, Fereol mengundang para pemilik tanaman vanili lain untuk melihat metode pengawinan vanili.


Edmund lalu mendemonstrasikan secara langsung kepada mereka4. Metode tersebut yang sampai hari ini lazim dilakukan oleh petani vanili di belahan dunia manapun. Penemuan inilah yang pada akhirnya menjadi gerbang dalam persebaran tanaman vanili secara global2.


Kemunculan Vanili Pertama di Tanah Air


Penyebaran vanili di Indonesia dimulai pada tahun 1819. Saat itu, vanili pertama kali masuk melalui Marchal, seorang ahli botani Belanda. Marchal membawa vanili dari kebun Antwerpen untuk ditanam di kebun botani Bogor‒sekarang dikenal sebagai Kebun Raya Bogor. Dalam perkembangannya, hanya satu dari dua tanaman yang dibawa tumbuh subur dan berbunga, tetapi tidak menghasilkan buah. Hal ini karena tidak terjadi penyerbukan alami melalui serangga Melipone.


Hingga pada tahun 1850, Teysman‒botanis kebangsaan Belanda‒berhasil mempraktikkan cara penyerbukan buatan (hand pollination) dengan sangat memuaskan. Sehingga diperoleh buah vanili pertama di Jawa2. Pada tahun-tahun berikutnya, sekitar tahun 1864 vanili menyeberang ke wilayah Temanggung dan Jawa Tengah. Berikutnya, tanaman tersebut menyebar luas ke wilayah seperti Bali, Jatim, Sumut, Sulsel, Sulteng, NTB, NTT dan Papua. 


Perkembangan Vanili di Indonesia


Di antara tahun 1960 sampai 1970, pulau Jawa menjadi daerah terpesat dalam proses perkembangan vanili. Hal ini memunculkan banyak sentra tanaman vanili yang memungkinkan komoditinya diekspor6. Vanili Indonesia terkenal akan kandungan vanillin-nya yang tinggi yaitu sekitar 2,75% dan diakui oleh United Nations Development Programe (UNDP) memiliki kualitas yang setara dengan Bourbon vanilla yang sudah terkenal di pasar internasional akan kualitasnya. Tidak heran saat itu vanili Indonesia dikenal dengan nama tersendiri sebagai “Java Vanilla Beans”6. Ini merupakan keunggulan yang harus dimanfaatkan dalam pengembangan kualitas vanila Indonesia terutama bagi komoditas khusus ekspor. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Jerman dan Jepang masih membutuhkan banyak impor vanili. Lalu, bersama Madagaskar, Meksiko, Papua Nugini, Cina, Turki dan Kerajaan Tonga, Indonesia masihlah menjadi salah satu negara pengekspor vanili terbesar di dunia2.


Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2014, luas area perkebunan vanili di Indonesia adalah 19.728 hektar dengan produksi sekitar 3.314 ton. Lahan seluas itu umumnya dimiliki oleh perkebunan rakyat yang relatif kecil. Sementara belum ada strategi yang berarti dari pemerintah untuk menjadikan vanili sebagai ”emas hijau” yang mampu menggerakkan roda perekonomian nasional. Apalagi melihat geografis Indonesia yang didominasi dataran tinggi dan rendah yang sama-sama cocok dengan agroklimat vanili.


Wilayah dataran tinggi yang sejuk dengan curah hujan tinggi serta tanah yang subur seharusnya menjadi peluang Indonesia. Lalu, dataran rendah juga bukan menjadi alasan untuk tidak membudidayakan vanili, mengingat sudah banyak metode penanaman yang berhasil dengan pemberian naungan dan perawatan intensif. Bahkan, di dataran rendah akan cenderung mudah melakukan stressing dan lebih cepat masa panennya. Artinya, dengan semua potensi yang dimiliki, seharusnya Indonesia bisa memanfaatkannya sebaik mungkin.


Penulis

Gunawan



Referensi


Tan, B.C. and Chin, C. F. 2015. Vanilla planifolia: An Economically Important Orchid and Its Propagation. Minerva Biotecnologica 27(2): 107-116.


Kunarto, Bambang. (2007). PANILI (Vanila planifola Andrews): Tinjauan Teknologi Pengolahan, Oleoresin dan Standar Mutu. Semarang: Semarang University Press. 


Vanili Indonesia. (2018). Sejarah Singkat Vanili. Diakses pada 13 Februari 2023, dari http://www.vanili-indonesia.com/index.php/budidaya/65-sejarah-singkat-vanili.


The Agriculture News. (2021). Edmond Albius – Penemu Metode Penyerbukan Vanili. Diakses pada 13 Februari 2023, dari https://theagrinews.com/edmond-albius-penemu-metode-penyerbukan-vanili/. 


Sotyati. (2016). Vanili, Rempah Termahal. Diakses pada 13 Februari 2023, dari https://www.satuharapan.com/read-detail/read/vanili-rempah-termahal.


Pertanianku. (2016). Asal-Usul Tanaman Vanili. Diakses pada 10 Februari 2023, dari https://www.pertanianku.com/asal-usul-tanaman-vanili/.

Komentar